2.1 MENJADI GURU AGAMA KATOLIK
Selama aku di SMP dan SMA kakekku selalu menganjurkan agar aku mengikuti kursus, entah itu kursus tertulis entah itu kursus lesan. Demikian maka aku mengikuti Kursus Tata Buku, mengetik, Bahasa Inggris, dan banyak lagi Tetapi tidak semua berakhir dengan mendapat Ijazah.
Selain itu tidak kulupakan pelajaran Agama selalu kuikuti di
luar sekolah, melalui seorang Pastor. Itu kuikuti walaupun
aku sendiri sudah dibaptis. Pada waktu itu yang menjadi
Pastor Kepala di Magelang (Pastor Paroki) adalah: Rama H.
van Heusden S.J. seorang Belanda yang lebih senang
menggunakan bahasa Jawa dari pada Bahasa Indonesia. Pernah
ada seorang Jawa bercakap-cakap dengan beliau mulai
menggunakan bahasa Belanda, beliaupun melayaninya. Ketika
pembicaraannya sudah selesai, Rama van Heusden bertanya:
"Menapa panjenengan boten saget boso Jawi?" (Apakah anda
tidak bisa bahasa Jawa?).
Pastor pembantunya ada dua: Rama Knooren S.J. yang lebih
banyak berkarya dan bergaul di lingkungan keluarga Tionghoa,
sehingga beliau mendapat predikat Pastor Cina. Kemudian
beliau pindah ke Jakarta memimpin Mingguan Hidup Katolik
yang kemudian berubah HIDUP. Sekarang di Nederland lkabarnya
sudah meninggal.
Pastor pembantu yang lain-lain ialah Pastor de Keyper S.J.
umurya paling tua di antara 3 Pastor yang lain, bahkan
katanya beliau Guru dari pada Pastor Knooren dan van
Heusden. Dari dia aku belajar banyak akan menularkan agama
kepada orang lain, atau dengan istilah Katolik, karya
kerasulan. Mulai itu aku menemukan diriku keinginan untuk
menjadi Guru Agama, orang yang tugasaya merasul (mengajar).
Saya sendiri sebetulnya kurang tertarik pada jabatan Pastor.
Yang ketika itu mengherankan aku ialah, mengapa saya sebagai
orang Katolik tidak boleh membaca buku SUCI (Kitab SUCI
kami) yaitu Injil. Padahal tidak demikian orang Protestan
dan orang Islam. Mereka bebas untuk membaca Kitab Sucinya.
Ketika hal itu aku tanyakan kepada Pastor de Keyper S.J,
beliau berkata bahwa hal itu supaya orang tidak menafsirkan
salah tentang Ritab Sucinya. Kuasa menafsirkan Kitab Suci
hanyalah wewenang Gereja saja. Ketika aku bertanya mengapa
hanya Gereja saja yang boleh menafsirkan kitab Suci beliau
tidak menjawab hanya berceritera atau boleh juga dikatakan
bahwa jawabannya diberikan dalam bentuk suatu ceritera:
"Dahulu kala ada 2 orang katak beradik. Ketika ayahnya
meninggal sebelumnya berpesan dua hal: pertama jangan
menagih hutang kepada orang yang berhutang kepadanya, dan
kedua jika mereka pergi dari rumah ke toko jangan sampai
mukanya terkena sinar matahari. Waktu berjalan terus. Dan
kenyataan terjadi, bahwa beberapa tahun setelah ayahnya
meninggal anak yang sulung bertambah kaya sedang yang bungsu
menjadi semakin miskin. Ibunya yang masih hidup menanyakan
hal itu kepada mereka. Jawab anak yang bungsu: Inilah karena
saya mengikuti pesan ayah. Ayah berpesan bahwa saya tidak
boleh menagih hutang kepada orang yang berhutang kepadaku,
dan sebagai akibatnya modalku susut karena orang yang
berhutang kepadaku tidak membayar sementara aku tidak boleh
menagih. Juga ayah berpesan supaya kalau saya pergi atau
pulang dari rumah ke toko dan sebaliknya tidak boleh terkena
sinar matahari. Akibatnya saya harus naik becak atau andong.
Sebetulnya dengan jalan kaki saja cukup, tetapi karena pesan
ayah demikian maka akibatnya pengeluaranku bertambah
banyak."
"Kepada anak yang sulung yang bertambah kaya, ibupun
bertanya hal yang sama. Jawab anak sulung: Ini semua adalah
karena saya mentaati pesan ayah. Karena ayah berpesan supaya
saya tidak menagih kepada orang yang berhutang kepada saya,
maka saya tidak menghutangkan sehingga dengan demikian modal
tidak susut. Juga ayah berpesan agar supaya jika saya
berangkat ke toko atau pulang dari toko tidak boleh terkena
sinar matahari, maka saya berangkat ke toko sebelum matahari
terbit dan pulang sesudah matahari terbenam. Akibatnya toko
saya buka sebelum toko lain buka, dan tutup jauh sesudah
toko yang lain tutup. Sehingga karena kebiasaan itu, orang
menjadi tahu dan tokoku menjadi laris karena mempunyai jam
kerja lebih lama."
"Demikianlah, Sariyanto," kata Rama de Keyper S.J. menutup
keterangannya, "jadi walaupun Injil orang Katolik dan
Protestan sama tetapi harus ada penafsiran yang satu yang
hanya boleh di buat secara resmi oleh Gereja supaya tidak
keliru. Puas dengan keterangan saya?"
"Ya, Pastor," jawabku dan memang ketika itu saya juga merasa
puas dengan keterangannya.
Aku mengakhiri masa sekolahku di SMA dengan lancar. Setelah
selesai belajar saya bekerja pada Lembaga Pembinaan Kesatuan
Bangsa. Tokoh LPKB ini kebanyakan adalah orang Katolik: K.
Sindhunata S,H. dulu Mayor ALRI, sekarang Pimpinan I.L.C.
(lnternational Legal Consultant) di Jakarta; Bapak
Wignyosumarsono, bekas Kep. Bag. Urusan Katolik di
Perwakilan Departemen Agama Jawa Tengah, sekarang Pegawai
Tinggi di BPK dan salah seorang pimpinan DPP PDI, Hary Tjan
Silalahi S.H. bekas anggota DPR, Cosmas Batubara dan masih
banyak orang-orang Katolik di LPKB itu. Karena dalam tubuh
LPKB itu yang dominan orang Katolik Di sinilah maka jiwa
kerasulan saya mendapat siraman yang baik. Saya membina
hubungan baik dengan pejabat Gereja, saya menentang
rapat-rapat Organisasi Massa yang diadakan pada hari Minggu
karena mengganggu orang bisa mengikuti Misa dengan baik.
Dalam pekerjaanku sebagai pegawai LPKB saya sudah mulai
turut serta dan dipercaya oleh Pastor untuk membantu
mengajar Agama. Pada waktu itu pelajaran Agama yang
diberikan oleh orang awam, bukan Pastor masih jarang sekali,
lebih-lebih oleh orang muda seusia saya dan belum pernah
mendapat pendidikan khusus.
Tahun 1966 saya dipindahkan dari LPKB Pusat ke LPKB Daerah
Propinsi Lampung, yang kemudian akan membawa riwaayat hidup
lain.
2.2 MAHASISWA KETEKETIK
Mahasiswa Kateketik
Agama yang benar untuk umat manusia ialah Agama Katolik,
demikianlah pendapatku. Agama yang mengajarkan cinta kasih
secara murni dan konsekwens. Dengan bekal keyakinan yang
semacam ini aku pindah dari Jakarta ke Lampung Ada dua hal
yang menyenangkan aku pindah ke Lampung. Pertama ialah dekat
dengan tempat orang tua dan kedua Staf LPKB Lampung semuanya
part-timer, jadi dengan kedatanganku menjadi satu-satunya
orang yang full-timer. Sehingga memang dengan demikian saya
menjadi orang yang menentukan policy LPKB.
Karena sering tugas luar, saya banyak bergaul dengan
masyarakat luas. Keinginan untuk melaksanakan ajaran Yesus:
"Pergilah dan ajarlah semua bangsa menjadi muridKu dan
permandikanlah mereka atas nama Bapa, dan Putera dan Roh
Kudus" menjadi demikian bernyala-nyala. Keinginan itu
kulaksanakan juga dengan menyerahkan waktuku untuk maksud
itu.
Rupanya hal itu menarik perhatian Bapak Uskup Lampung Mgr.
Albertus Hermelink Gentiaras SCY. Seorang Uskup yang begitu
rendah hati, bisa dijumpai oleh siapa saja kapan saja. Jika
seorang ingin menghadap beliau tidak perlu mendaftar
terlebih dahulu kepada Sekretaris Keuskupan seperti lajimnya
dibuat oleh kebanyakan Uskup. Oleh beliau aku kemudian
dikirim ke Fakultas Pendidikan Kateketik di Madiun di bawah
pimpinan Pastor Dr. Paulus Janssen C.M seorang yang suka
sekali bekerja keras seorang theolog dan social worker.
Pada waktu aku belum masuk ke Fakultas Pendidikan Kateketik
saya telah meragukan 2 hal. Yang pertama ialah: Dosa asal
dan tentang Santo dan &Santa (orang Suci). Bagaimana mungkin
seorang yang baru lahir dari rahim ibunya sudah berdosa
karena mewarisi dosa asal? Dan bagaimana mungkin Bapa Paus
di Vatikan bisa menetapkan bahwa seorang yang meninggal
dunia bisa ditetapkan sudah masuk surga. Ada juga hal lain,
yaitu tentang api pensucian. Sementara semua agama mengajar
bahwa hanya ada dua tempat ialah neraka dan surga di alam
sana, Gereja Katolik mengajarkan ada tempat lain ialah api
pencuci.
Tetapi semua kebimbangan itu kubiarkan saja, karena saya
berpendapat bahwa dengan menjadi Mahasiswa pada Fakutas
Pendidikan Kateketik keraguan dan kebimbangan itu akan
menjadi hilang atau sekurang-kurangnya bahkan menjadi jelas.
Tentang dosa asal, ada dosen yang menjelaskan bahwa semua
perbuatan orang tua bagaimanapun pasti berakibat pada anak.
Misalnya jika orang tuanya suka pergi ke wanita pelacur,
maka penyakit yang di derita bukan saja oleh dia tetapi
anak-cucunya ikut menanggung akibatnya. Hal itu untuk
sementara cukup memuaskan hatiku; walaupun dalam
perkembangan selanjutnya kebimbangan tentang hal ini muncul
lagi dan tetap tidak terjawab.
Tentang Santo dan Santa tidak ada jawaban yang memuaskan.
Yah, terima begitu saja. Bukankah ada suatu dogma bahwa Sri
Paus tidak bisa keliru dalam menentukan kaidah agama.
Jawaban itu bukan saja tidak memuaskan, bahkan keraguan
bertambah satu, yaitu apakah betul Sri Paus tidak bisa salah
dalam memutuskan kaidah agama? Hilang satu keraguan yakni
tentang dosa asal, muncul satu keraguan lain, yaitu tentang
ketidak-mungkinan salah dari Sri Paus di Vatikan.
Aku mulai banyak mengenal pendeta Protestan. Pada saat itu
Gereja Katolik, sudah maju dalam hal keinginan untuk ekomune
(hidup bersama dalam persatuan). Tetapi rupanya Gereja
Protestan masih memandang dengan mata curiga akan
keinginan-baik Gereja Katolik. Ada memang Gereja Protestan
yang sudah maju, misalnya Kristen Jawa, tetapi aliran
Pantekosta sukar sekali untuk bisa mengerti hal ini.
Sehingga dari aliran Pantekosta selalu ada usaha supaya
mendapat pemeluk yang sebanyak-banyaknya. Sedangkan,
pandangan Gereja Katolik dan Kristen Indonesia atau yang
sejenis, orang yang sudah mempercayai Kristus- sebagai juru
Selamat tidak usah ditarik lagi, barlah mereka tetap tenang
pada agamanya entah itu Katolik entah itu Protestan.
Perkenalan dangan para Pendeta menyebabkan saya bisa
menerima pandangan agama Protestan yang wajar tentang tidak
adanya pentahbisan (pelantikan) Santo-Santa, tentang tidak
ditekankannya masalah dosa asal. Dari mereka saya
mendapatkan buku Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Saya
simpan Kitab Suci itu dengan nada agak takut sebab
bagaimanapun Gereja Katolik belum mengijinkan secara luas
orang Katolik menyimpan buku-buku Kitab Suci terbitan
Protestan, bahkan pendeknya pada teorinya orang Katolik
dilarang membaca buku-buku tanpa Imprimatur (persetujuan
Uskup setempat) dan atau Nihil Obstat (tidak ada keberatan).
Suatu ketika Rama Janssen yang memberikan kuliah Kitab Suci
(sebelum itu Bruder Honorius) memulai kuliahnya dengan
berkata: "Seperti kalian tahu, bahwa tidak boleh seorang
Katolik memakai kitab Injil terbitan Protestan." Hatiku
berdebar-debar juga, jangan jangan kena sanksi administrasi
saya. Tetapi beliau melanjutkan: "Tetapi berhubung dari
Katolik sendiri belum banyak usaha penerbitan Kitab Suci,
dan karena Saudara calon Guru Agama yang harus lebih tahu
dari pada umat biasa tentang Kitab Suci, maka Saudara perlu
mempunyai. Untuk memakai buku Injil terbitan Protestan harus
ada ijin dari Bapak Uskup setempat dalam hal ini Uskup
Surabaya, Mgr. Drs. J. Kloster CM. Saya, selaku pimpinan
Fakultas atas nama Bapa Uskup memberikan ijin secara umum,
khusus kepada para Mahasiswa saya untuk mempergunakan Bijbel
Protestan." Saya lega sekali. Keesokan harinya teman-temanku
mencari Injil itu sedang saya sendiri menjadi bebas
mengeluarkan Kitab Suci itu.
Yang saya kagumi dari golongan Protestan ialah mereka dapat
hafal ayat-ayat Injil itu. Sedang saya, calon Guru Agama
Katolik untuk mencari tempat-tempatnya dalam Injil masih
merasa sulit. Hal ini juga berlaku untuk semua orang Katolik
bahkan guru Agamanya juga.
Aku berpendapat, bahwa dengan mempunyai Injil imanku akan
bertambah kuat, tetapi tidak demikian halnya. Dalam suatu
tempat di dalam Pe:rjanjian Lama, sayang saya tidak bisa
mengingat lagi di mana letaknya dan untuk mencarinya kembali
ternyata sulit sekali, saya menemukan: "Bahwa dosa orang
lain tidak bisa dipertanggung jawabkan kepada orang lain
walaupun itu anaknya sendiri." Yah, dengan demikian jelas
bahwa dosa dan akibat dosa itu berlainan. Akibat dosa bisa
diwariskan tetapi dosa itu sendiri tidak bisa. Umpamanya,
anak seorang pembunuh dijauhkan dari pergaulan oleh
kawan-kawannya, tetapi dia sendiri tidak bisa dianggap salah
karena menjadi anak seorang pembunuh."
Kemudian hal ini di luar waktu kuliah saya tanyakan kepada
Pastor Bartels C.M., beliau hanya menjawalb: " Itu bukan hal
yang penting. Jika kau tidak percaya kepada dosa asal,
engkau engkau tidak dosa dan tetap bisa menjadi orang
Katolik yang baik." Saya berkata lagi: "Kalau demikian apa
bukan lebih baik saya menjadi Protestan saja, Rama?"
Rama menjawab: "Pikiranmu yang kacau anggap saja sebagai
godaan setan, dan sekarang banyaklah berdoa dengan tekun
lewat perantaraan bunda Maria."
Dari akibat membaca Bijbel saya mendapatkan hal lain yang
terasa ganjil. Hal itu ialah silsilah Yesus. Sebaiknya tidak
usah saya kutipkan Silsilah itu, tetapi saudara buka saja
Kitab Perjanjian Baru pada halaman pertama Injil Mateus.
Setelah Mateus memproklamirkan bahwa Yesus adalah Anak
Ibrahim, Anak Daud, dan menyuguhkan deretan nama-nama, maka
pada akhir silsilah itu Mateus berkata: "Yakub
memperanakkan Yusuf suami Maria, yarng melahirkan Yesus yang
disebut Kristus." Hal ini saya fikir aneh. Jika Yesus adalah
putera (keturunan) Ibrahim, maka lebih tepat jika yang
disebut keturunan Ibrahim itu Maria saja, bukan Yusuf yang
bukan saja Bapa dari jasmani Yesus.
Hal ini saya tanyakan kepada Rama Wignyopranoto C.M. beliau
menjawab: "Orang Yahudi itu garis keturunan adalah garis
Bapak sehingga lebih mudah jika yang disebut keturunan
Ibrahim itu Bapanya, bukan Ibunya. Tetapi itu tidak penting,
yang penting YESUS secara fakta sudah turun ke dunia
menyelamatkan umat manusia. Itu inti iman kita." Jawaban itu
tidak memuaskan saya, namun kesempatan tidak banyak untuk
mendiskusikan, karena katanya akan ada kesempatan untuk
mendiskusikannya dalam pelajaran yang akan datang waktu
membicarakan persoalan itu. Tetapi sampai Rama Wignyo studi
di Universitas Gregorian di Roma dan sampai saya keluar dari
pendidikan itu tidak ada kesempatan lagi untuk omong-omong
tentang hal itu.
Tetapi yang lebih mengherankan lagi ialah, saya mendapatkan
silsilah Yesus dalam Injil yang lain, yakni Injil Lukas. Di
situ dilukiskan bahwa Yesus adalah keturunan Daud dari garis
Natan yang ke 43, sedang dalam Injil Mateus adalah anak Daud
yang ke 27 dari garis Sulaiman. Terhadap ini belum pernah
saya tanyakan.
2.3 PRIBADI YESUS DAN AJARANNYA
Pribadi Yesus dan Ajarannya
Yesus yang menurut orang Kristen dan Katolik adalah Allah
Putera yang turun ke dunia untuk menjadi manusia dan penebus
dosa umat manusia, memang dapat diakui sebagai tokoh sejarah
yang hebat. Tahun dibagi menjadi dua ialah sebelum Masehi
dan sesudah Masehi. Terhadap tokoh ini beraneka ragam
pendapat. Golongan Yahudi, berpendapat bahwa Yesus itu tokoh
pemberontak dan pengacau. Golongan Kristen, memujanya
sebagai pribadi Allah yang turun mengejawantah. Golongan
Islam berpendapat bahwa Yesus seorang Nabi besar, tetapi
bukan putera Allah.
Lepas dari semua pandangan yang berbeda, kalau kita meninjau
tokoh ini memang merupakan tokoh yang boleh dibanggakan
pengajaran-pengajarannya. Beliau mengajarkan kerendahan hati
yang tulus: "Jika engkau ditampar pipamu yang kiri;
serahkanlah yang kanan." Sikap munafik ditentangnya
hebat-hebatan. "Jika engkau berdoa, masuklah kedalam rumah,
tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di
tempat tersembunyi" (Mateus 6: 6). Dan sabdanya: "Janganlah
berdoa seperti orang munafik, yang suka bertdoa ditepi-tepi
jalan dan ditikungan jalan supaya dilihat orang."
Dalam memberi dermapun Yesus mengutuk sikap munafik, "Jika
engkau memberi sedekah, janganlah diketahui oleh tangan kiri
apa yang dibuat oleh tangan kanan" (Mateus 6: 3). Juga dalam
hal berpuasa sikap munafik yang hanya ingin dilihat orang
lain sangat dicela oleh Yesus: "Jika engkau berpuasa jangan
muram mukamu, tetapi minyakilah rambutmu dan cucilah mukamu
supaya orang lain tak melihat engkau sedang berpuasa"
(Mateus 6: 16-18).
Yesus mengajar kepada kita untuk percaya betul kepada
penyelenggaraan Ilahi, supaya kita tidak membalas dendam
kepada orang lain. Untuk itu periksalah Mateus pasal 6.
Orang dari agama apapun bisa menghargai Yesus dan semua
ajarannya. Bagiku Yesus adalah Guru yang baik, Guru yang
mengajarkan kebaikan dan kesolehan yang tidak dibuat-buat.
Beliau paling membenci sesuatu hal yang dibuat-buat, hari
Sabat yang dianggap keramat oleh golongan Parisi didobraknya
karena mereka melaksanakan hukum hari Sabat secara
berlebih-lebihan sehingga cinta kasih kepada sesama
diabaikan demi kekeramatan hari Sabat.
Yesus mengajar dengan bahasa rakyat, bahasa yang bisa
dimengerti oleh rakyat jelata. Beliau bukan saja mengajarkan
kesederhanaan, tetapi beliau juga melaksanakan kesederhanaan
itu. Beliau tidak hanya mengajar supaya kita mencintai orang
lain, tetapi beliau juga melaksanakan cinta kasih dengan
menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, menolong
penganten yang nyaris kehabisan anggur di tengah-tengah
pesta mereka.
Yesus juga contoh pribadi yang tidak segan-segan berkata:
"Tidak" jika memang keyakinannya demikian. Beberapa kali
orang Parisi mencoba menjebak dia, namun dia bisa
membalikkannya dengan begitu tepat. Ketika orang Parisi
bertanya: "Perlukah kita membayar pajak?" Yesus dengan
pertanyaan ini dihadapkan kepada buah simalakama, pata
posisi yang sulit. Jika dia berkata: '~tidak,, dia dianggap
pemberontak. Jika menjawab: "ya," mereka akan berkata
mengapa utusan Allah lebih rendah dari pada Kaisar. Dalam
keadaan seperti itu Yesus balik bertanya: "Coba tunjukkan
uang itu. Gambar siapakah itu?" Jawab kaum Parisi: "Gambar
Kaisar." Kemudian Yesus berkata: "Serahkanlah kepada kaisar
yang menjadi hak kaisar dan kepada Tuhan apa yang menjadi
hak Tuhan."
Saya mengakui bahwa pribadi Yesus begitu agungnya,
sampai-sampai seluruh hidupnya dicurahkan untuk memberikan
perhatian kepada orang kecil. Saya menghormati pribadi ini
sebagai pribadi yang mendobrak ketidakadilan, dan menolak
kultus individu. Kepada orang yang disembuhkan dari sakit,
dia selalu berpesan agar tidak dikatakan kepada orang lain
peristiwa penyembuhannya itu.
Tentang kemurnian hidup beliau mengajarkan: "Setiap orang
yang memandang seorang wanita, dan menginginkannya sudah
berzina di dalam hatinya" (Mateus 5: 28). Dalam memilih
murid-muridnya Yesus tidak memandang dari mana asal usulnya.
Mateus, seorang penarik bea yang dalam pandangan masyarakat
Yahudi bukan profesi yang baik, dipilih sebagai seorang
muridnya. Petrus seorang nelayan sederhana, dipilih sebagai
tua-tua murid yang lain.
Yesus tidak menyukai kekerasan, walaupun itu kepada
musuhnya. Ketika Petrus memarang telinga tentara yang akan
menangkap Yesus sehingga daun telinganya putus, daun telinga
itu justru diambil oleh Yesus dan dilekatkan kembali
ketempat asalnya.
Kepada orang yang mendengarkan pengajarannya, beliau tidak
melupakan kesejahteraannya. Ketika pada waktu makan dan
tidak tersedia makanan, Yesus mengambil sepotong roti kecil
dan dua ekor ikan yang dibawa oleh anak kecil kemudian
diperbanyak olehnya dan dibagikan kepada orang-orang itu;
tetapi manakala pada kesempatan lain orang
berbondong-bondong mengikuti, justru Yesus menolaknya karena
tahu bahwa motivasinya karena ingin roti hasil mukjijat
Yesus.
Tiada suatu pengaruh lain yang bisa melenyapkan
peoghormatanku pada Yesus Kristus sebagai pribadi pembaharu
peradaban manusia.
2.4 KEBIMBANGAN BERJALAN TERUS
Kebimbangan Berjalan Terus
Terhadap pribadi Yesus, saya tidak mempunyai keraguan
tentang pengajarannya. Tentang hukum etis dan moral yang
diajarkannya sungguh bernilai tinggi. Tetapi tentang dosa
asal, tentang Santo dan Santa, tentang silsilah Yesus;
bolehkah semua itu kuanggap tidak penting? Yang penting inti
iman. Sampai aku menjadi Guru Agama, kebimbangan itu
berjalan terus. Yang saya herankan sekarang ialah, apakah
orang yang saya ajar itu tidak bimbang bila saya sendiri
yang mengajar sesungguhnya hatiku juga bimbang. Saya tidak
tahu, dan belum pernah menanyakan kepada katekumers saya
(orang yang aya ajar agama) dan dari mereka saya tidak
pernah menerima pertanyaan itu.
Lebih aneh lagi sebetulnya, kalau aku mengingat bahwa ketika
aku menjadi mahasiswa di Fakultas Pendidikan Kateketik dan
berpraktek Stasi di kota kecil Walikukun, Kabupaten Ngawi
begitu banyak orang yang saya Katolikkan. Cara pendekatan
saya begitu baik sehingga kepada Kepala Desa Mengger, Kepala
Desa Karangbanyu dan Kepala Desa Dirgo (Bau) saya bisa minta
dikumpulkan orang-orang desa untuk saya ajar agama Katolik.
Setelah saya menjadi Guru Agamapun saya boleh dikatakan
sebagai Guru Agama yang berhasil dalam hal meng-Katolik-kan
banyak orang, atau sekurang-kurangaya membuat suatu
masyarakat bernafaskan Katolik. Akhirnya masa tugasku
sebagai Guru Agama kujalani di kota kecil Sumpiuh, Kabupaten
Banyumas dalam Keuskupan Purwokerto. Tempat tugasku hanya
berjarak 5 km dari tempat kelahiranku, Tambak. Di dalam
Injil ada disebut: "Seorang nabi tak dihargai di negerinya,"
walaupun begitu tugasku di Sumpiuh dapat kunilai dan dinilai
orang lain: sukses. Dalam waktu tiga tahun saya di Sumpiuh
saya melayani tiga orang Pastor berturut-turut yaitu: Rama
A. Wahyo Bawono Pr, bekas Letnan Kolonel Kostrad Tituler,
Rama Antonius Willing MSC, Rama H. Obbens MSC. Dengan dua
Pastor yang terdahulu saya bisa bekerja sama dengan baik
tidak pernah ada misunderstanding, tetapi dengan Rama Obbens
keadaannya lain. Tetapi hubungan yang kurang baik antara
saya dengan beliau tidak menjadi alasan yang penting mengapa
saya masuk Islam. Kalau hal itu dianggap sebagai proses yang
mempercepat mungkin boleh, tetapi jika ini dianggap sebagai
penyebab utama tidak mungkin.
Seperti lajimnya keluarga Katolik, lebih-lebih saya Guru
Agama, maka anak yang baru lahir itupun kumintakan baptis.
Ketika aku menyaksikan upacara baptis anakku timbullah suatu
pertanyaan besar: "Apakah betul anakku sudah punya dosa asal
warisan zaman Adam dan Hawa akibat dosa mereka?" Gereja
Protestan memang lebih rationil dalam hal pembaptisan ini,
yang tidak mau membaptis seseorang tanpa kemauan bebas dan
kehendak orang yang bersangkutan.
Seperti halnya kakekku yang meletakkan dasar pada
pendidikanku sehingga seluruh pribadinya sempat mewarnai
juga pribadiku, maka pergaulanku tidak tertutup pada suatu
kelompok masyarakat. Dengan orang Protestan dan Islam saya
banyak bergaul. Dengan pejabat-pejabat setempat selalu saya
memelihara hubungan baik. Tetapi juga dengan kalangan
masyarakat yang diemohi oleh masyarakat saya usahakan
hubungan yang baik. Dengan wanita pelacur saya tidak
segan-segan untuk bergaul dan mengunJungi mereka. Itu semua
kulakukan bersama-sama isteriku bila aku mengunjungi
tempat-tempat pelacuran. Bukan karena isteriku tidak percaya
kepada kesetiaanku, tetapi suara masyarakat yang negatif
hampir tidak pernah saya dengar dengan selalu mengajak
isteri saya bila ke sana.
Di situlah saya berpikir, mengapa Pimpinan Gereja tidak
pernah mempunyai konsepsi dan buah pemikiran untuk wanita P?
Bukankah Kristus memberi contoh dengan membela Maria
Magdalena yang akan dihukum rajam (lempar batu) karena
kedapatan sedang berjina? Yesus dengan kewibawaanya berkata:
"Siapa yang tidak mempunyai; dosa silakan lempar batu
dahulu!"
Kebimbangan itu pada akhirnya sampai pada puncaknya ialah,
mula pertama dengan tidak meyakini peranan Bunda Maria
sebagai perantara manusia kepada Allah Bapa dan Allah
Putera. Jadi imanku Katolik saya kurangi dengan dosaasal,
pembaptisan bayi, peranan Bunda Maria. Bolehlah dikatakan
saya sudah menjadi Protestan secara praktis.
Hal itu memang benar, jika saja proses. itu berhenti sampai
di sini saia. Tetapi proses ini berkembang dengan tidak
meyakini lagi pada diri saya bahwa Yesus itu Allah, walaupun
saya tetap meyakini bahwa Kristus adalah Guru yang baik.
Soal Trinitas dan lain-lainnya dapat Saudara baca pada
bagian karangan saya yang berjudul: "Siapakah Juru Selamat
Dunia?," yang dimuat bersama-sama serial ini. Perlu kiranya
saya tambahkan bahwa buku: "Yesus Kristus dalam Al Quran dan
Mohammad dalam Bijbel," karya Drs. Hasbullah Bakri, telah
mendorong saya dan membantu studi tentang masalah ketuhanan
Yesus.
2.5 PUTUSAN TERAKHIR
Putusan Terakhir
Memang tidak mudah untuk mengambil keputusan terakhir,
lebih-lebih jika ini menyangkut soal iman. Pada studi saya
lebih lanjut disamping saya sampai pada kesimpulan bahwa
Yesus bukan pribadi Allah, sampai juga saya mengimani bahwa
Muhammad itu adalah Nabi Utusan Allah.
Sebetulnya dengan ini saya sudah menjadi orang Islam dalam
batin. Saya seorang yang dalam mengambil keputusan tidak
begitu tergesa-gesa, segi-segi saya pertimbangkan dengan
betul.
Dalam awal tahun 1977, saya pergi ke Lampung menghadap
orang-tuaku untuk mohon doa restu. Keputusanku sudah bulat
pada waktu itu ialah: "masuk Islam." Teringatlah saya akan
sabda Yesus "Carilah dulu Kerajaan Allah dan segala
kebenarannya yang lain akan diberikan sebagai tambahan"
(Mateus 6: 33).
Ujian pertama, ialah kemarahan orang tuaku, ibuku marah
dengan sangat begitu mendengar keputusanku. Saya: pulang
dari rumah ibu dengan hati yang berkeping-keping. Di Jakarta
saya istirahat beberapa hari. Dan akhirnya saya bisa bertemu
dengan Bapak Mollammad Natsir gelar Datuk Sinaro Panjang.
Beliau sekarang menjabat sebagai Ketua Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia Pusat. Akhirnya dengan bantuan beliau
saya berkuliah untuk memperdalam Agama Islam pada IAIN
"Sunan Kalijogo," Fakultas Ushuludin Yogyakarta.
Keputusanku masuk Islam kutuangkan dalam Pernyataan didepan
Bapak Syamsuri Ridwan, Kepala Dep. Agama Kab. Banyumas di
Purwokerto disaksikan oleh: AK. Ansori, Somad, Moh. Tohar
BA, tgl. 14 Januari 1977. Perpisahan dengan Gereja Katolik
bukan berarti perpisahan dengan Yesus atau Isa a.s. Guruku
yang pengajarannya kukagumi.
Selamat tinggal Gereja Katolik saya merasa berhutang budi
kepadamu karena engkau telah mendewasakan pribadiku dan
mengembangkannya. Seminggu setelah aku mengambil keputusan
ini, aku masih tetap menangis. Bukan menangis menyesal telah
mengambil keputusan yang engkau anggap salah, namun
perpisahan dengan engkau almamater yang telah sekian lama
aku berkecimpung di dalamnya cukup mengharukan dan
menyedihkan hatiku.
Walaupun pengajaran-pengajaranmu banyak yang tidak kupercaya
lagi namun aku ingin menjadi sahabatmu yang baik, walaupun
aku sudah dalam biduk lain.
Akhir tulisan saya, saya ingin minta maaf kepada para Wali
Gereja Katolik terlebih-lebih Bapa Uskup Alb. Hermelink
Gentiaras SCY, bekas Uskup Tanjungkarang, Mgr. P.S.
Harjosumarto MSC, Uskup Purwokerto, para Pastor yang telah
mengenal saya, sesama rekan Guru Agama dan saudara-saudara
yang beragama Katolik, barangkali saya dianggap telah
mengambil keputusan yang sesat. Namun keputusan itu telah
saya ambil dalam kedewasaan pribadi, waktu yang lama, studi
yang mendalam dan doa kepada Tuhan. Akhirnya saya
mengucapkan selamat tinggal. (Bersambung)
0 Komentar